![](https://mpaq.or.id/wp-content/uploads/2024/02/Ulama-Siaga-Satu.png)
Ulama Siaga Satu
Oleh : Muhsin Suny M.
Kasus demi kasus kriminalisasi ulama terjadi di negeri ini. Dan hal itu terjadi di era pemerintahan Jokowi saat ini. Meskipun peristiwa ini dibantah oleh beberapa menterinya dengan mengatakan tidak mungkin Pak Jokowi mengkriminalkan ulama karena beliau seorang muslim juga. Kapolri Tito Karnavian pun ikut membantah hal tersebut. Namun masyarakat secara kasat mata disuguhkan hal yang bertolak belakang. Kata Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, pemerintah seperti membiarkan kesan. yang melekat pada benak masyarakat bahwa rezim ini anti-Islam.
Kasus teranyar menimpa Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjutak. Dalam sebuah diskusi di televisi, Dahnil mengatakan bahwa ada aktor besar di balik kasus Novel Baswedan yang berlarut-larut. Gara-gara pernyataan ini beliau dipanggil kepolisian. Kasus sebelumnya yang juga menimpa ulama adalah kasus ceramah Ustadz Zulkifli Muhammad Ali yang dianggap mengandung ujaran kebencian (hate speech) dan menyinggung SARA.
Berbeda perlakuan ketika yang melakukan ujaran kebencian alias hate speech adalah orang kafir. Sempat viral di medsos dan media nasional tentang ujaran kebencian yang dilakukan oleh Victor Bungtilu Laiskodat, seorang politikus senior Partai Nasdem. Dalam rekaman video tersebut secara jelas dan meyakinkan Victor Laiskodat mengungkapkan ujaran kebencian. Victor mengatakan dan menyerukan agar kelompoknya (orang-orang Kristen) segera membunuh orang-orang Islam, kalau tidak maka orang-orang Islam lah yang akan membunuh mereka.
Namun apa yang terjadi? la sama sekali tidak disentuh oleh Polri. Bahkan ia melenggang menjadi calon gubernur. Contoh lain adalah hate speech yang dilakukan oleh Joshua. Secara terang- terangan Joshua menista agama Islam, namun bagaimana tindak lanjut kasusnya? Bahkan dipanggil pun tidak. Berbeda jika hal itu menyangkut ulama. Maka polisi langsung reaktif dan direspon dengan sangat cepat, bahkan tanpa menunggu laporan sekali pun. Tentu saja hal ini bisa disimpulkan bahwa kepolisian berat sebelah dalam bersikap dan bertindak. Orang awam sekalipun dengan mudah bisa membaca di pihak manakah kepolisian berpihak?
Revolusi Anti Ulama
Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagal gelombang besar di hadapannya. Mari kita sejenak mengingat sejarah. Bahwa dahulu peristiwa kriminalisasi ulama ini pernah terjadi di negeri ini. Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim- ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi publikasi pembela Soekarno dan surat- surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.
Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa,
- Ideologi ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya.
- Bagi orang yang menganut ideologi ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
- Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatiah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretans Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses. pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.
Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak diantara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut:
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ularna kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? In sya’ Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan. Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggang dalam api unggun besar yang menyala-nyala; Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Allah bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu. (Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967- 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319).
Maka jika para ulama saat ini banyak yang mengalami kriminalisasi maka kesabaran lah yang harus dipegang erat. Tidak perlu mundur selangkah. Semoga para ulama kita tidak gentar menyampaikan kebenaran meskipun jeruji besi menanti. Aamiin…
Sumber : Majalah Sinaran Edisi 52