
Renungan Masa Kecil Untuk Mendidik Anak
Oleh: Adin Suryadin, S. Psi, M. Si
Teringat ketika saya waktu kelas satu SD, saat itu sedang musimnya anak-anak membuat mainan dari pohon pisang dan dari bahan bambu dan kayu, ada yang buat mainan mobilmobillan, motor-motoran. Saya juga tidak ketinggalan untuk membuat mainan motor-motoran darri pohon pisang, karena menginginkan bentuk sepeda motor yang lebih baik maka saya minta tolong dibuatkan teman yang lebih tua (kakak kelas 3). Jadilah bentuk sepeda motor yang indah yang tebuat dari pohon pisang, lengkap bola lampo depan, stang nya yang bagus bentuknya, yang menurut saya saat itu hampir menyerupai sepeda motor beneran.
Senang sekali perasaan saya saat itu mempunyai maianan sepeda motor dari pohon pisang, kemana-mana saya bawa itu mainan sepeda motor, saya naikin seperti naik maianan kuda lumping, kalau naik sepeda motor mainan itu kaki saya sebagai rodanya dan mulut saya sebagai suara mesinnya….brem-brem sepeda motor lari kesana kemari….walau cape dan keringetan lari kesana kemari naik sepeda motor mainan itu, namun persaan say sangat senang, kupamerkan pada semua teman-temanku bahwa aku punya sepeda motor dari pohon pisang yang bentuknya bagus hampir mirip sepeda motor beneran. Sering kuparkir sepeda motor itu di dalam rumah bahkan sering tak masukan ke kamar tempat tidur saya.
Suatu hari seperti biasa di pagi saya bersiap berangkat sekolah dengan penuh semangat untuk belajar dangan tidak lupa memasukan sepeda motor saya ke kamar di sebelah tempat tidur saya agar tidak dipakai atau dimainin adik saya, saking emannya takut rusak, dan ketika pulang sekolah sejak di jalan saya sudah membayangkan nanti akan mainan sepeda motor kesanganku….alangkah terkejutnya sesampainya di kamarku sepeda motor mainanku tidak ada ditempatnya yang tadi saya simpan, tak cari-cari kemana-mana…ketemunya sudah di tempat sampah dengan kondisi sudah dipretelin dan hancur. Alangkah sedih, jengkel dan marah saat itu…siapa yang berani-beraninya merusak sepeda motor mainanku. Setelah saya tanyatanya ternyata yang menghancurkan dan membuang ketempat sampah adalah ayah saya…saya kecewa tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena savo ti tidak berani melawan orang tua…hanya bisa diungkapkan kesedihan dan kejengkelan dengan menangis.
Pengalaman seperti itu terus membekas dalam ingatan saya, walaupun saya sudah tidak sedih dan kecewa lagi dan sudah memahami kenapa ayah saya dulu membuang mainan saya ke tempat sampah karena tentunya mainan itu akan membuat rumah menjadi kotor dan tidak indah dipandang mata mainan dari pohon pisang ada di tempat tidur anaknya. Namun memori itu terus membekas ingat sampai sekarang, karena secara psikologis suatu pengalaman yang paling menyentuh secara menyenangkan atau secara tidak meyenangkan akan selalu kuat diingat dalam ingatan, bahkan sampai saya dewasa dan sudah punya anak empat kejadian itu masih teringat dengan jelas di memori saya.
Pengalaman serupa hampir terjadi dengan anak saya. Ketika saya pulang dari kerja dan ketika sampai rumah, rumah saya berantakan penuh dengan mainan anak saya, saya berusaha untuk merapihkannya, pada saat merapihkan diantara maianan itu ada sepenggal kayu yang agak sedikit kotor, rencana mau tak buang, tapi setelah saya lihat ini seperti pedang-pedangan, lalu saya tanya si bibi pembantu rumah, “ini punya siapa bi?” itu punya mas fadhil jawabnya. Saya langsung teringat pengalaman saya waktu kecil mainan sepeda motor saya dibuang ayah saya dan sangat mnyakitkan perasaan saya waktu itu, kemudian pedang-pedangan itu saya simpan di atas lemari dapur…tidak berapa lama datanglah anak saya mencari-cari sesuatu “mana pedang saya? Mana pedang saya?…pedang yang mana? yang ini?” jawab saya sambil menyodorkan kayu tadi. “ya ini pedang saya, dengan pedang ini kalau ada yang mau jahat sama ayah aku akan membelanya dengan pedang sakti ini” ujarnya. Masya Allah saya bergumam dalam hati, ternyata dia sangat sayang sama ayahnya dan ingin membela kalau ada yang jahat sam ayahnya, bisa dibayangkan kalau mainan pedang itu saya buang ke tempat sampah maka tentunya anak saya akan kecewa denga saya bahkan bisa juga sampai marah kepada ayahnya, dan nantinya akan menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan yang selalu di ingatnya.
Berdasarkan pengalaman itu saya berusaha untuk menganalisa bahwa dengan pengalaman kita di masa lalu baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan diharapkan bisa merubah lebih ke depannya. Saya merasakan betul dengan pengalaman saya yang dulu tidak menyenangkan itu sebagai pelajaran bagi saya untuk merubahnya tidak boleh hal serupa terulang lagi yang tidak baik. Namun kalau itu pengalaman yang meyenankan bagi kita alangkah baiknya kita bisa mengulang kepada anak saya untuk diperlakukan seperti itu, karena dengan kita melakukannya lagi tentunya anak kita akan senang dan berkesan positif pada kita orang tuanya.
Sekilas dari kejadian di atas kita sebagai orang tua harus memahami kalau menurut kita sesuatu itu tidak penting dan tidak berguna belum tentu bagi anak kita. Mungkin pohon pisang itu kita anggap benda sampah yang akan ngotorin rumah kita, sehingga kita akan berusaha membuangnya, namun bagi anak kita pohon pisang itu sesuatu yang sangat berguna dan penting baginya. Dengan demikian kita berusaha memahami persaan dan kebutuhan anak kita.
Ternyata banyak hal yang bisa kita pelajari dengan melihat pengalaman kita kebelakang pada waktu masih kecil untuk merubahnya lebih baik ke depan. Secara psikologis pola asuh orang tua kita dulu kepada kita akan mempengauhi bagaimana kita memperlakukan atau mengasuh anak kita sekaang ini. Dengan mempelajari pengalaman yang lalu kita bisa membandingkan dengan keadaan anak kita kemudian mengambil hikmah untuk melakukan pendidikan yang lebih baik, dan pengalaman yang kurang baik tidak akan terulang lagi. Ada peribahasa pengalaman adalah guru yang terbaik….tentunya bagi kita yang mau untuk belajar dan memperbaikinya. Kalau tidak…pengalaman hanyalah sebuah peristiwa yang kita ketahui saja sebagai pengetahuan…tapi kita ke depan tidak ada perubahan.
Walahua’lam bishowab…………..
Sumber: Majalah Sinaran Edisi 50