Penyimpangan – Penyimpangan Aqidah Syi’ah
Oleh : Ust. Muhammad Suparman al Jawi (Majelis Syuro MPAQ)
Pendahuluan
Segala puji hanya layak ditujukan bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh umat manusia, nikmat duniawi yang terhampar luas di alam semesta ini. Serta melengkapi nikmat tersebut dengan menurunkan syariat untuk mengatur kehidupan manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Agung Rasulullah Muhammad SAW, panutan kita, teladan kita dalam menjalani tugas sebagai hamba, dalam beribadah dan beramal shalih beserta seluruh keluarga, para sahabatnya serta pengikut, pecinta dan pembela sunnah – sunnahnya hingga Hari Kiamat nanti.
Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu dan dalil. Maka tidak ada syariat yang layak diamalkan sebagai jalan taqarrub kepada Allah SWT dan berharap pahala di akherat kecuali disandarkan pada dalil yang shorih baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW dan diamalkan oleh para sahabat dan ulama salaf.
Berbeda dengan Syi’ah, mereka banyak membuat riwayat – riwayat dusta baik atas nama Allah SWT, Rasul nya maupun para Imam mereka untuk melegitimasi keyakinan mereka. Demikian juga, mereka membuat bid’ah bid’ah dalam ibadah yang diatas namakan mencintai Rasul dan Ahli Bait. Seperti Ihtifal Maulid Nabi SAW yang selalu diramaikan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Padahal para ahli sejarah masih berselisih pendapat perihal tanggal kelahiran beliau SAW.
Budaya Ihtifal Maulid Nabi adalah bid’ah yang dibuat oleh Kaum Yahudi dari Maroko yang masuk Islam (bahkan para ahli sejarah mengatakan mereka adalah Kaum Majusi) dari keturunan al Ubaid Al Maghriby pada masa al Muiz Li Dinillah. Penguasa ini mengeluarkan ratusan ribu dinar untuk perlombaan membuat Syair Ihtifal Maulid Nabi. Untuk menarik perhatian mereka menamakan diri mengaku – aku sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib RA sehingga disebut Golongan Fathimiyyun, tetapi para Ulama menyebut mereka sebagai Golongan Syi’ah Rafidhah Bathiniyyah. Sekte Syi’ah yang paling ekstrim dalam sejarah.
Semoga Allah SWT menjaga kita dan menolong kita dari makar – makar mereka. Amin.
Aqidah Syi’ah tentang Kota Kufah, Qum dan Karbala
Orang – orang Syi’ah Rafidhah meyakini bahwa lokasi makam para imam mereka, baik yang diklaim belaka maupun makam yang sebenarnya adalah tanah haram yang suci, seperti Kufah, Karbala dan Qum.
Mereka meriwayatkan dari ash Shadiq (Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash Shadiq wafat 148 H / 765 M) bahwa Allah SWT memiliki tanah haram yaitu Makkah, Rasulullah SAW memiliki tanah haram yaitu Madinah al Munawarah, Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib RA memiliki tanah haram yaitu Kufah dan kami memiliki tanah haram yaitu Qum.
Tanah Karbala bagi kaum Syi’ah Rafidhah lebih utama dari pada Ka’bah. Disebutkan dalam al Bihar, dari Abu Abdillah (Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash Shadiq wafat 148 H/ 765 M) bahwa ia berkata,
إن الله أوحى إلى الكعبة فقال : ولولا تربة كربلاء ما فضلتك، ولولا من تضمنه أرض كربلاء ما خلقتك ولا خلقت البيت الذي به افتخرت، فقري واستقري وكوني ذنبا متواضعًا ذليلاً مهيئا غير مستنكف ولا مستكبر لأرض كربلاء وإلا سخت بك وهويت بك في نارجهنم ( كامل الزيارات: ص۲۷۰، بحار الأنوار: ۱۰۹/۱۰۱)
Sesungguhnya Allah SWT menurunkan wahyu Nya kepada Ka’bah dengan berfirman: Jika bukan karena tanah Karbala maka Aku tidak akan mengutamakanmu, jika bukan karena para Imam yang dikandung Bumi Karbala maka Aku tidal akan menciptakanmu dan tidak akan menciptakan masjid yang kau bangga-banggakan. Maka diamlah kamu dan janganlah banyak tingkah. Dan jadilah kamu tumpukan dosa- dosa yang hina dina dan dihinakan dan janganlah sombong kepada Bumi Karbala. Jika tidak kau perhatikan maka Aku akan hempaskan kamu ke Neraka Jahannam.
isebutkan pula dalam Kitab al Mizaar karya Muhammad an Nu’man yang bergelar Syaikh al Mufid, ia mengatakan, “Hendaklah seseorang yang menziarahi kuburan al Husain dia mengangkat tangan kanannya dan mengucapkan doa, Saya sedang meziarahimu dengan mengharapkan agar kaki ini tetap tegar untuk selalu hijrah kepadamu. Saya yakin bahwa Allah SWT menghilangkan kesedihan menurunkan rahmat Nya dengan sebab engkau. Dan karena engkaulah Allah mengukuhkan bumi, tidak menenggelamkannya serta mengokohkan gunung – gunung di atas pasak pasaknya. Aku mengharap kepada Tuhanku dengan perantaraanmu agar dikabulkan permohonanku dan semua kebutuhanku serta diampuni dosa -dosaku.”
Masih dalam Kitab al Mizaar, an Nu’man menyebutkan keutamaan kota Kufah yang diriwayatkan oleh ash Shadiq, ia berkata, “Sebaik-baik tanah setelah tanah haramnya Allah SWT dan tanah haram Rasulullah SAW adalah tanah Kufah karena ia bersih dan suci di dalamnya terdapat kuburan para nabi dan rasul serta para washi ( Imam Syi’ah Itsna Asyariyah yang berjumlah 12 orang yang dianggap mendapat wasiat dan berhak untuk meneruskan kekhilafahan setelah Rasulullah SAW). Di sana terdapat keadilan Allah SWT, penerus kekhilafahan yang akan datang, dan di sana pula tempat turunnya para nabi, para washi dan orang orang shalih.
Aqidah Rafidhah tentang Bai’at
Syiah rafidhah beranggapan bahwa seluruh pemerintahan, selain pemerintah imam mereka yang jumlahnya dua belas, dianggap tidak sah dan batal. Mereka menjelaskan hal ini dalam kitab mereka: Al-Kaafi dengan penjelasan Al Mazindarani dan Al Ghaibah karangan An Nu’mani, dari Abu Ja’far beliau berkata:
كل راية ترفع قبل راية القائم المهدي فصاحبها طاغوت
Setiap bendera yang dikibarkan sebelum imam mereka Al Qa’im Al Mahdi, pemiliknya dianggap thaghut.
Tidak diperbolehkan taat kepada seorang penguasa yang tidak mendapatkan legitimasi dari Allah Ta’ala kecuali dengan cara taqiyah. Mereka menganggap semua penguasa Muslim selain para imam mereka dengan imam yang khianat, zalim (tidak adil), tidak layak menjadi pemimpin dan dengan nama lain yang sejenis. Hal ini ditujukan khususnya kepada tiga khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman RA.
Salah seorang tokoh mereka yang bernama Al Majlisi, penulis buku Biharul Anwar memberikan komentar kepada tiga khalifah di atas, ia berkata :
Sesungguhnya mereka adalah para perampok kekuasaan, pengkhianat, dan murtad dari agama, semoga laknat Allah kepada mereka, dan kepada orang – orang yang mengikutinya, disebabkan kezaliman yang dilakukannya kepada keluarga Nabi SAW dari generasi pertama hingga sesudahnya.
Inilah yang dilontarkan oleh Al Majlisi, dimana bukunya dianggap sebagai rujukan sentral oleh orang-orang Syiah dalam memberikan penilaian terhadap generasi terbaik setelah para Nabi dan Rasul. Sesuai dengan prinsip mereka tentang khalifah kaum muslimin, mereka beranggapan bahwa setiap orang yang bekerja sama dengan pemimpin kaum muslimin adalah thaghut dan zalim.
Diriwayatkan oleh Al Kulaini dari Umar bin Hanzhalah, ia berkata :
سألت أبا عبد الله عن رجلين من أصحابنا بينها منازعة في دين أو ميراث وتحاكما إلى السلطان وإلى القضاء أيحل ذلك قال من تحاكم إليهم في حق أو باطل فإنما تحاكم إلى الطاغوت وما يحكم له فإنما يأخذ سحتاً وغن كان حقاً ثابتاً له لأنه أخذه بحكم الطاغوت
Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang dua orang laki-laki dari sahabat kami yang berselisih tentang hutang atau harta warisan. Dimana keduanya mencari penyelesaian hukum kepada penguasa dan hakim (selain golongan Syiah), apakah yang demikian diperbolehkan ? la menjawab : “Barangsiapa yang mencari penyelesaian hukum kepada mereka, baik dia berada dalam pihak yang benar atau yang salah, maka sesungguhnya ia telah mengambil harta haram, meskipun dia dalam pihak yang benar dan itu memang haknya, dikarenakan ia mengambil berdasarkan keputusan thaghut.”
Khomeini berkata dalam bukunya Al Hukumatul Islamiyyah mengomentari ucapan tokoh-tokoh Syiah di atas:
Imam sendiri yang melarang mencari penyelesaian hukum kepada para penguasa dan para hakimnya, karena mencari penyelesaian hukum kepada mereka dianggap mencari penyelesaian kepada thaghut.
Dari nash – nash mereka di atas maka secara umum kaum Syi’ah tidak boleh berbai’at atau taat kepada kaum Sunni karena berbaiat kepada kaum thaghut haram hukumnya. Kecuali dalam rangka taqiyyah pada saat saat yang darurat dan memaksa. Dalam buku At Taqiyyah fi Fiqhi Al Bait dalam bab ke sembilan tentang taqiyyah saat berjihad, dan ini adalah kesimpulan atas penelitian Ayatullah Asy Syaikh Muslim Ad Daawari, dalam pendapatnya mengenai hukum bekerja pada penguasa yang zalim (yang dimaksud adalah penguasa dari kalangan sunni), dia mengatakan:
Sesungguhnya masuk ke dalam pekerjaan penguasa itu ada tiga macam : adakalanya masuk dalam pekerjaan itu dengan maksud untuk melonggarkan kesusahan kaum beriman (Syiah), membantu menunaikan kepentingan dan kebutuhan mereka, maka ini hukumnya dianjurkan berdasarkan teks riwayat – riwayat yang telah dikemukakan dalam anjuran untuk melakukan pekerjaan semacam itu. Kadang bekerja dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bersenang-senang ini hukumnya boleh meskipun dimakruhkan. Dan seandainya dalam hal ini dia bisa berbuat kebaikan untuk saudara saudaranya yang mukmin dan berusaha membantu memenuhi kebutuhan mereka maka perbuatan ini menjadi penghapus kemakruhannya. Ini berdasarkan riwayat – riwayat yang telah disampaik di muka berkiatan dengan diharuskannya berbuat baik kepada kaum mukminin dan menolong kesusahan mereka. Hal ini berarti perbuatannya seimbang. Kadang bekerja dikarenakan terpaksa dan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, ini diperbolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali.
Mereka menghukumi Ahlus Sunnah sebagai pelaku kazaliman. Kemudian membolehkan bekerja pada penguasa Ahlus Sunnah dengan berbagai syarat. Diantaranya adalah harus membantu orang-orang Syiah secara umum agar hukum pekerjaan itu menjadi boleh.
Seolah olah mereka tunduk kepada penguasa Ahlus Sunnah, tetapi itu hanya taqiyyah, karena loyalitas orang-orang Syiah Rafidhah hanya untuk kekuasaan Syiah Rafidhah saja. Mereka tidak bekerja pada suatu bidang kecuali akan berusaha memberikan kesempatan bagi teman-teman mereka dan sebisa mungkin menjauhkan Ahlus Sunnah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut sampai mereka akhirnya bisa menguasai segalanya. Semoga Allah menjaga kaum Muslimin dari keburukan mereka.
Sumber : Majalah Sinaran Edisi 50