
Penyimpangan – Penyimpangan Aqidah Islamiyah
Oleh: Ust. Muhammad Suparman al Jawi
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan hidayah inayah kepada kita di mana kita dilahirkan dalam keadaan mukmin, tinggal bersama kaum muslimin serta hidup dalam suasana budaya masyarakat Islam. Tidak hanya itu, Dia juga telah memberi hidayah dilalah irsyadiyah berupa ayat ayat yang terhampar dalam Al Quran dan Hadits hadits Rasulullah saw untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, beserta seluruh keluarganya, para sahabat sahabatnya serta para pengikut, pecinta dan pembela sunnah sunnahnya sampai Yaumil Qiyamah.
Ilmaniyah atau Sekularisme merupakan aliran pemikiran yang saat ini banyak mempengaruhi pemikiran- pemikiran pemuda Islam. Yang lebih tragis lagi sebagian besar mereka kurang mampu mencerna mana yang perlu diambil sebagai ketegasan komitmen dan mana yang harus dikaji ulang dan di klarifikasi menggunakan teoro-teori pemahaman agama yang kokoh dari al- Qur’an dan as-Sunnah. kerena bagaimanapun yang namanya inofasi sudah barang tentu ada yang salah dan ada pula yang benar, sebagaimana yang pernah di sunahkan Nabi Muhammad, yaitu “kesalahan dalam inofasi masih dapat pahala satu dan kalau benar dapat pahala dua”. Maka sangat tepatlah motto “Al-Muhafadzatu ala al qadim al sholih wal Akhdzu bi Al Jadid Al Ashlah” sebagai filter perkembangan pemikiran- pemikiran baru tentang pemahaman Qur’an dan Hadith.
Dan yang perlu diwaspadai adalah bahwa bentuk-bentuk metodologi pemikiran baru yang masing-masing mempunyai argumentasi aqliyah yang kuat dan cenderung mudah diterima oleh akal, Hal ini kalau kita sebagai generasi muslim tidak jeli dalam mensikapinya, sangat mudah diombang-ambingkan oleh berbagai isu kemodernan, apalagi generasi sekarang umumnya sudah mengabaikan al Hadith sebagai referensi yang menjadi panduan kita untuk memahami nash-nash al-Qur’an. Hal ini dikarenakan mereka sudah menjadi menj korban mode pemikiran barat, dan terhipnotis oleh opini yang mengangkat percobaan-percobaan dalam memahami nash-nash agama.
Masyarakat Sekuler
Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya dianggap sebagai sekuler. Hal ini dikarenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sanksi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak dapat menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi keagamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.
Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu dipisahkan dari masalah-masalah pemerintahan dan pengambilan keputusan.
Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi Humanisme Sekuler.
Beberapa masyarakat menjadi semakin sekuler secara alamiah sebagai akibat dari proses sosial alih-alih karena pengaruh gerakan sekuler, hal seperti ini dikenal sebagai Sekularisasi.
Pro Kontra Sekulerisme
Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang tak terelakkan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauhi takhayul. Namun hal tersebut juga menjaga persamaan hak-hak sipil dalam kebebasan memeluk suatu kepercayaan dan berkeyakinan baik individu ataupun kelompok, dengan kata lain sekularisme justru menjadi ideologi yang mendukung kebebasan beragama tanpa ada agama superior yang dapat mefonis kepercayaan lain adalah salah dan sesat dan mendaat konsekwensi hukum.
Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka membantah bahwa pemerintaan sekuler menciptakan lebih banyak masalah daripada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukkan bahwa negara Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekuler. Seperti contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia menyediakan dana untuk pembangunan masjid.
Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukkan bahwa negara-negara Skandinavia di atas terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama, secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekuler di dunia, ditunjukkan dengan rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama.
Komentator modern mengkritik sekularisme dengan mengacaukannya sebagai sebuah ideologi antiagama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun tujuan utama dari negara sekuler adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama. Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalah hal yang negatif. Di dalam negara yang mempunyai kepercayaan seperti itu (seperti negara Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek di bawah negara sekuler. Kebebasan untuk beribadah dihalang-halangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga diawasi agar selalu sejalan dengan hukum sekuler atau bahkan filsafat umum yang resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar kebebasan beragama. Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama (seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan pendermaan) tetapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara, mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme klasik menyatakan bahwa negara tidak dapat “membebaskan” institusi beragama dari pajak karena pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama bekerja pada ranahnya sendiri-sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam isu nilai moral, kedua-duanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan agama di bawah negara atau sebaliknya.
Sumber: Majalah Sinaran Edisi 55