
Palestine dan Kesabaran Kita
Oleh: Muhsin Suny M.
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israel dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (Q.S. al-Isrâ’ [17]:4).
Demikianlah vonis yang ditetapkan Allâh terhadap Bani Israel yang termaktub di dalam Kitab Taurat. Sebuah kaum yang banyak dibahas di dalam Al-Qur’an tentang pembangkangan mereka kepada Rasul dan kepada Kitab Taurat. Sebuah informasi penting untuk kita bahwa kita sedang menghadapi kaum yang memang sudah bermasalah sejak dahulu kala.
Informasi yang Allâh sampaikan kepada kita lewat Al-Qur’an ini penting sekali untuk kita pegang erat-erat. Jangankan kita yang manusia biasa, bahkan Nabi pun ditentang oleh Banil Israel. Maka kita tidak perlu gumun alias heran dengan sikap anak keturunan mereka saat ini yang betul-betul menguras emosi kita sebagai kaum muslimin.
Hadapi dengan Sabar
Perjuangan membebasakan Palestina membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kecerdikan. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Godaan untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan, bisa menghancurkan proses perjuangan. Godaan inilah yang menjadi penyebab hancurnya pasukan Islam (dalam kasus Perang Uhud), gara-gara sebagian pasukan panah tergoda oleh harta rampasan perang.
Perjuangan memerlukan kesabaran dan strategi yang matang. Perjuangan bisa berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nafsu untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan dapat menghancurkan tujuan perjuangan itu sendiri. Karena itulah, kita sangat berhutang budi pada para ustadz dan aktivis dakwah yang tidak pernah tersorot kamera TV atau liputan media massa, tetapi gigih mengajarkan aqidah Islam, baca tulis Al-Quran, atau membendung gerakan-gerakan pemurtadan yang merusak umat Islam. Para pejuang Islam ini mungkin tidak menyadari, bahwa yang mereka kerjakan adalah sebuah langkah besar dalam menjaga aqidah dan eksistensi umat Islam.
Prof. Kasman Singodimedjo, seorang pejuang Islam di Indonesia, pernah menerbitkan sebuah buku menarik berjudul Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967). Buku itu ditulisnya saat mendekam dalam tahanan rezim Orde Lama. Dari ruang tahanan itulah, Kasman mengingatkan pentingnya kesabaran dan keberlanjutan dalam perjuangan.
Beliau berpesan:
“Seorang muslim harus berjuang terus, betapa pun keadaannya lebih sulit daripada sebelumnya. Ada pun kesulitankesulitan itu tidak membebaskan seorang muslim untuk berjuang terus, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada waktu lampau, dengan strategi tertentu dan taktik yang lebih tepat dan sesuai. Pengalaman-pengalaman yang telah dialami hendaknya menjadi pelajaran yang akan banyak memberi hikmah dan manfaat kepadanya. Tidak usah seorang muslim berkecil hati. Tidak usah ia merasa perjuangannya yang lampau itu telah gagal, hanya memang belum sampai pada maksud dan tujuannya. Perjuangan Tengku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, H.A. Salim, dan lainnya itu pun tidak gagal, hanya belum sampai pada tujuannya. Oleh sebab itu, Muslimin yang masih hidup sekarang ini harus meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak kepada keadaan (situasi) dan faktafakta yang kini ada, dengan gaya/semangat baru, setidak-tidaknya “to make the best of it”, menuju kepada baldatun “tayibatun wa Rabbun gafur”, yakni suatu negara yang baik yang diampuni dan diridhai oleh Allah: adil, makmur, aman, sentausa, tertib, teratur, bahagia, damai.”
Dr. Mohammad Natsir, pada 17 Agustus 1951, juga menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir juga mengingatkan, bahwa perjuangan tiada mengenal kata berakhir. la mengingatkan munculnya gejala orangorang yang cepat merasa puas dalam perjuangan dan suka menuntut imbalan atas jerih-payahnya. Ketika itu, hanya enam tahun setelah kemerdekaan, kondisinya sudah sangat berubah. Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau … Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjoltonjolkan ke muka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal … Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya. sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari citacita yang diluar dirinya. Lampu citacitanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagil apa yang akan dibuat!”
Moh. Natsir mengingatkan, jika tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka kita tidak boleh berhenti “mendayung”:
“Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini… Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai … Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobarkobar dan dengan keberanian. meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”
Kasus penetapan Yerussalem. sebagai Ibukota Israel yang diserukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump adalah lagi-lagi ujian bagi kita dalam bersikap. Bagaimana sikap kita? Apakah kita diam saja? Ataukah kita bergerak? Dengan cara apa? Itulah serentetan pertanyaan yang musti kita jawab. Jawaban apa yang kita berikan adalah tergantung kualitas keimanan kita. Dan Allâh akan melihat bagaimana sikap dan pembelaan kita terhadap saudara kita yang sedang tertindas di Palestina.
Selamat bagi mereka yang sudah bertindak dan bergerak. Adapun bagi mereka yang masih diam acuh tak acuh, semoga Allâh segera membuka mata hati mereka sehingga mereka terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam ladang amal yang satu ini. Inilah hikmah dari Allâh tidak menghapus atau menghancurkan Bani Israel, agar kita memiliki kesempatan beramal, yaitu membela saudara-saudara kita di sana. Semoga kita akan mampu istiqomah dalam melakukan pembelaan ini. Aamiin… @muhsinsunym.
Sumber: Majalah Sinaran Edisi 51