
Mimpi Tentang Rekonsiliasi Sunni – Syi’ah
Oleh: Ust. Muhammad Suparman al Jawi
Pendahuluan
Segala puji hanya layak ditujukan bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh umat manusia, nikmat duniawi yang terhampar luas di alam semesta ini. Serta melengkapi nikmat tersebut dengan menurunkan syariat untuk mengatur kehidupan manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Agung Rasulullah Muhammad SAW, panutan kita, teladan kita dalam menjalani tugas sebagai hamba, dalam beribadah dan beramal shalih beserta seluruh keluarga, para sahabatnya serta pengikut, pecinta dan pembela sunnah – sunnahnya hingga Hari Kiamat nanti.
Islam menghendaki umatnya bersatu padu bukan bercerai berai. Karena dengan persatuan akan tercipta kekuatan umat. Sebagaimana dalam al Quran Surat Ali Imran : 103, Allah SWT berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian dengan Tali Allah dan janganlah bercerai berai.”
Akan tetapi persatuan yang dikehendaki Islam adalah persatuan yang berlandaskan Tali Allah SWT. Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya memaknai Tali Allah dengan Janji Allah ( Aqidah Tauhid) dan Al Quran.
Maka selama Kaum Muslimin bersatu dalam Aqidah Tauhid, bersatu dalam Al Quran maka Allah SWT akan memberikan kemenangan dan kekuatan, menaklukkan umat umat lain. Sebaliknya ketika Kaum Muslimin tercemar aqidahnya maka Allah SWT memenangkan umat lain menguasai Kaum Muslimin. Sebagaimana sejarah telah membuktikan.
Maka dari itu, selama berdakwah di Makkah 13 tahun, Rasulullah SAW sangat tegas mendakwahkan aqidah. Meskipun masih lemah sedikitpun beliau tak mau berkompromi dengan keyakinan dan ibadah Kafir Quraisy dan menerima rekonsiliasi mereka agar saling menghargai dan tidak mencaci tuhan tuhan mereka.
Yang haq harus dikatakan haq, yang bathil harus dikatakan bathil.
Rekonsiliasi Sunni-Syi’ah
Ide Rekonsiliasi Sunni muncul ketika ide-ide liberal (Ilmaniyah) mulai merasuki para intelektual muslim dengan dalih agar Kaum Muslimin tidak saling bermusuhan sehingga terciptalah kekuatan Umat Islam. Sepintas seolah – olah upaya ini begitu mulia tetapi sebenarnya sangat berbahaya bagi Aqidah Islam.
Untuk mewujudkan mimpi itu, banyak usaha yang dilakukan untuk mewujudkan Rekonsiliasi Sunni dan Syiah. Seperti mendirikan “Darut Taqrib Baina al Madzaahib al Islamiyah” (Lembaga Rekonsiliasi Antar Madzhab madzhab Islam) dan menerbitkan majalah Risalah Al Islam di Kairo, Mesir. Pendirinya terdiri dari perwakilan Sunni dan Syiah. Pihak Sunni diwakili oleh Syaikh Musthafa Al Maraghi, Syaikh Muhammad Syaltut dan Syaikh Musthafa Abdul Raziq. Adapun dari kelompok Syiah diwakili oleh Sayyid Muhammad Husain Kasyif Al Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah dan Sayyid Syarafuddin Al Musawi. Kemudian, mendirikan berbagai pusat rekonsiliasi lain, seperti Muassasah Ahli Bait li Al Fikri Al Islami di Jordan. Pada tahun 1984, didirikan Muassasah Al Imam Al Khuu’i li At Taqrib Baina Al Mazahib Al Islamiyah. Selain itu, ada banyak usaha ilmiah lainnya dalam mendekatkan kedua golongan ini melalui seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai negara Islam.
Namun semua usaha itu tidak efektif sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sikap saling memburukkan dan saling mengkafirkan semakin meningkat. Langkah untuk rekonsiliasi Sunni-Syiah sudah dihentikan. Oleh karena itu perlu يَرَى أَنَّهُ dibangunkan kembali aktivitas-aktivitas dan pintu penyelesaian lain, Contohnya mengaktifkan sikap toleransi antara madzhab. Sebab perbedaan antara Sunni dan Syiah sangat fundamental, bukan sekedar perbedaan furu’ pada masalah fiqih, tetapi perbedaan yang menonjol adalah pada pokok ajaran aqidah masing- masing.
Dalam sejarah Taqrib (rekonsiliasi) atau sebuah usaha damai dan rekonsiliasi antara madzhab Sunni & Syiah, Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh al Azhar, wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut madzhab Ja’fari (Fiqih Imamiyah). Dan fatwa tersebut secara tidak langsung memberikan sebuah kesan bahwa Syi’ah Imamiah tidaklah sesat. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi umat. Seharusnya para ulama dan tokoh-tokoh muslim mengatakan yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil sehingga tidak membingungkan umat.
Namun yang menarik dari fatwa ini, adalah fatwa tersebut tidak pernah ditemukan atau ditulis dalam empat kitab besar beliau, hanya dimuat oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959 yang dikeluarkan oleh Lembaga Rekonsiliasi Madzhab Islam, Kairo. Oleh karena itu ada berbagai penilaian ulama tentang fatwa yang dikeluarkan oleh beliau ini. Termasuk tokoh Rekonsiliasi lain, Prof. Dr. Yusuf al Qardawi, kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian adanya fatwa tersebut. Akan tetapi walau bagaimanapun penafsiran ini dapat disangkal, sebab dalam arsip ditemukan teks asli ucapan fatwa dalam majalah “Risalah al-Islam”:
قِيلَ لِفَضِيلَتِهِ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرَي أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ لِكَى تَفَعُ عِبَادَاتُهُ وَمُعَامَلَاتُهُ عَلَى وَجْهِ صَحِيحٍ أَنْ يُقَلَّدأَحَدَ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ الْمَعْرُوفَةِ وَلَيْسَ مِنْ بَيْنِهَا مَذْهَبُ الشَّيْعَةِ الإِمَامِيَّةِ وَلَا الشَّيْعَةِ الزَّيْدِيَّةِ، فَهَلْ تُوَافِقُوْنَ فَضِيْلَتَكُمْ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ عَلَى إِطْلَاقِهِ فَتَمْنَعُوْنَ تَقْلِيدَ مَذْهَبِ الشَّيْعَةِ الإِمَامِيَّةِ الإِثْنَا عَشَرِيَّةِ مَثَلاً فَأَجَابَ فَضِيلَتُهُ: ” إِنَّ الإِسْلامَ لا يُوْجِبُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أَتْبَاعِهِ اتَّبَاعَ مَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ بَلْ نَقُوْلُ: إِنَّ لِكُلِّ مُسْلِم الْحَقُّ فِي أَنْ يُقَلِّدَ بَادِيءَ ذِي بَدْءٍ أَيْ مَذْهَبٍ مِنَ الْمَذَاهِبِ الْمَنْقُولَةِ نَقْلاً صَحِيحاً وَالْمُدَوَّنَةُ أَحْكَامِهَا فِي كُتُبِهَا الْخَاصَّةُ، وَ لِمَنْ قَلَّدَ مَذْهَباً مِنْ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى غَيْرِهِ أَي مَذْهَبٍ كَانَ وَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ . ” إِنَّ مَذْهَبَ الْجَعْفَرِيَّةِ الْمَعْرُوفُ بِمَذْهَبِ الشَّيْعَةِ الإِمَامِيَّةِ الإِثْنَا عَشَرِيَّة مَذْهَبٌ يَجُوزُ التَّعَبُدُ بِهِ شَرْعًا كَسَائِرِ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ. فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِينَ أَن يَعْرِفُوا ذَلِكَ، وَأَن يَتَخَلَّصُوا مِنَ الْعَصَبِيَّةِ بِغَيْرِ الْحَقِّ لِمَذَاهِبٍ مُعَيَّنَةٍ، فَمَا كَانَ دِينُ اللهِ وَمَا كَانَتْ شَرِيْعَتُهُ بِتَابِعَةِ لِمَذْهَبٍ، أَوْ مَقْصُورَةً عَلَى مَذْهَبٍ فَالْكُلُّ مُجْتَهِدُوْنَ مَقْبُولُونَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَجُوزُ لِمَنْ لَيْسَ أَهْلًا لِلنَّظْرِ وَالإِجْتِهَادِ تَقْلِيدُهُمْ، وَالْعَمَلُ بِمَا يُقَرِّرُوْنَهُ فِي فِقْهِهِمْ، وَلا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْعِبَادَاتِ وَالْمُعَامَلاتِ
Beliau ditanya: Sebagian orang berpendapat bahwa wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab yang terkenal agar ibadah dan muamalahnya benar secara syar’i, sementara Syiah Imamiah bukan salah satu dari empat mazhab tersebut, begitu juga Syiah Zaidiyah. Apakah Tuan Yang Utama setuju dengan pendapat ini dan melarang mengikuti madzhab Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah misalnya?
Beliau menjawab: Islam tidak menuntut seorang Muslim untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Sebaliknya kami katakan: setiap Muslim punya hak mengikuti salah satu madzhab yang telah diriwayatkan secara sahih dan fatwa-fatwanya telah dibukukan. Setiap orang yang mengikuti madzhab- madzhab tersebut boleh berpindah ke madzhab lain, dan hal itu bukan suatu kesalahan.
Madzhab Ja’fari, yang juga dikenal sebagai Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah (Syiah Dua Belas Imam) adalah madzhab yang dari segi syarak (agama) adalah boleh untuk diikuti dalam ibadah sebagaimana madzhab Sunni lainnya. Kaum Muslim wajib mengetahui hal ini, dan sebisanya menghindarkan diri dari prasangka buruk terhadap madzhab tertentu mana pun, karena agama Allah dan Syari’atnya tidak pernah dibatasi pada madzhab tertentu. Para mujtahid mereka diterima oleh Allah Yang Mahakuasa, dan dibolehkan bagi yang bukan-mujtahid untuk mengikuti mereka dan menyepakati ajaran mereka baik dalam hal ibadah maupun muamalah.”
Sampai saat ini ulama masih tidak mendapatkan gambaran yang jelas dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian, apakah Syaikh Mahmud Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syiah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syiah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha dan pemikiran pribadi untuk memperbaiki merekonsiliasi hubungan Sunni dan Syiah ketika itu dengan tujuan menyatukan keutuhan dan persatuan Islam ataukah terpengaruh ide-ide Kaum Ilmaniyah yang sudah tercemar Barat.
Pada hakikatnya, fatwa di atas yang dikeluarkan pada 6 Julai 1959 dari Rektor Universitas al Azhar sifatnya ijitihad pribadi. Sebab beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, beliau terinspirasi untuk menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati madzhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Dan yang terpenting, sebagi i’tibar untuk semua golongan dan madzhab selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah “Pihak Sunni sangat terbuka untuk madzhab-madzhab lain dan menginginkan persahabatan dan bukan perbalahan, pertengkaran dan perseteruan”.
Tapi upaya tersebut selain salah dan membingungkan umat, tentunya sia sia belaka. Karena tak mungkin Kaum Syi’ah menghapus ajaran – ajaran mereka yang tertulis dalam kitab-kitab induk yang ditulis oleh ulama ulama pendahulu mereka diriwayatkan dari para Imam mereka. Bahkan sudah jelas, pihak Syiah sendiri melarang penganutnya beribadah menurut madzhab Sunni. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah, seorang ulama Syiah yang disegani oleh penganut Syiah. la tegas melarang penganut Syiah beribadah dengan cara mazhab selain mazhab Ahlulbait.
Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan madzhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual sunni dipakai oleh Syiah, dan Syiah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh Sunni, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Sunni-Syi’ah Berbeda Aqidah
Para Tokoh Pakar Studi Syi’ah mengatakan bahwa tidak mungkin Sunni – Syi’ah dapat dipersatukan sampai kapanpun. Ini bukan soal pesimis atau optimis. Tetapi secara teori hal itu tidak mungkin dilakukan. Secara empirispun hingga saat ini belum ada contoh di dunia, di mana Sunni – Syi’ah bisa saling kompromi dan duduk bersama.
Banyak fihak memang memimpikan rekonsiliasi itu, tapi kita harus berpegang teguh pada aqidah di atas sekedar mimpi atau cita-cita. Dalam hal bermuamalah, boleh saja saling bekerjasama tapi tidak sampai menodai aqidah. Ketidak mungkinan bersatunya Sunni – Syi’ah itu dirasakan mengingat sulit untuk menghapus doktrin yang sudah mendarah daging pada Kaum Syi’ah yang suka melaknat para sahabat Nabi dan istri-istrinya sedangkan mereka adalah panutan bagi Sunni walaupun memang tidak pernah mengatakan para sahabat dan istri Nabi SAW itu ma’sum, tapi bagi Sunni (ahlu sunnah wal jamaah), mereka itu ‘Udul, proporsional, dan penerus kenabian, yang berita riwayatnya menjadi rujukan dalam beragama.
Kaum Sunni macam apa yang bisa bersahabat dengan orang yang mengatakan bahwa Muhammad menjadi nabi karena kesalahan Jibril AS memberikan wahyu yang seharusnya diberikan kepada Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar, Umar dan Utsman RA adalah perampas kekhilafahan sehingga setiap mendengar nama mereka harus dilaknat. Istri – istri Nabi SAW adalah para pelacur. Menuduh Kaum Sunni membantai Al Hussain RA. Al Quran yang sekarang ini adalah Kitab Palsu dan doktrin – doktrin lain yang menyakiti dan menghina keyakinan Sunni.
Doktrin Syi’ah itu sulit dikompromikan dengan Sunni karena perbedaan Sunni – Syi’ah, bukan lagi soal perbedaan khilafiyah, seperti perbedaan Madzhab Hanafiyah Malikiyah , Syafi’iyyah dan Hanabilah yang berbeda pada masalah furu’ ( cabang fiqih ), tapi sudah menyangkut aqidah yang jauh sulit untuk dipertemukan. Apalagi saat ini Syi’ah terus mengalami transformasi, militansi Syi’ah terus dibangun di bawah tanah (underground) di bawah dukungan Rezim Syi’ah Republik Iran yang masih memimpikan kebesaran Persia di masa lalu. Dan yang paling berbahaya adalah dendam mereka kepada Islam (Sunni) yang masih membara, untuk membantai Nawashib (Sunni) di manapun berada ketika mereka telah memiliki kekuasaan dan kekuatan.
Sumber: Majalah Sinaran Edisi 51