
Memuliakan Ulama
Oleh : HM. Jatmiko, CH
Bicara tentang ulama, kita sedih merasakan keadaan di Indonesia, betapa agama ini semakin jauh dari sendi-sendi yang ditegakkan Rasulullah dengan sumber Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai sumber keselamatan, yang secara lengkap sudah ditafsirkan oleh para Imam Madzhab empat, sampai dengan sebelum tahun 300 H, yang dijamin Rasulullah sebagai 3 generasi terbaik setelah beliau, para sahabat (banyak yang dijamin masuk surga) yang Sunnahnya bisa berlaku juga sebagai hukum, Tabiin dan tabiut tabiin, dan generasi setelahnya akan terus meluncur turun dan turun, namun kalau sudah seperti di Indonesia ?, Kita sedih, turunnya keterlaluan.
PERTAMA, Dalam lapangan politik, negeri Islam sebesar ini dengan penduduk Islam sebanyak ini TIDAK PUNYA QODLI, sebagai penetap hukum demi kepentingan masyarakat Islam Indonesia, padahal di negara minoritas Islam seperti Filiphina, dan Burma saja ada Qodli, apalagi Malaysia yang Islam 60 %, sehingga ketentuan hukum syara’ bagi kepentingan ummat ini yang ditetapkan MUI seolah-olah hanya sekedar SUKA SUKA, mau menerima kek mau tidak kek, seolah terserah masyarakat sendiri, dan semua ummat terkelompok dalam kepentingan golongan/kelompok sendiri sendiri.
Sehingga pernah seorang Profesor dan Doktor politik, pimpinan kelompok besar di Indonesia NYALON presiden pun toh hanya mendapat sekitar 15% suara, sedang suara yang 85% ummat ini entah kemana ?, demikian juga ketika seorang tokoh besar menjadi presiden karena buah kesepakatan ummat Islam di Parlemen, ternyata pemerintahannya hanya seumur jagung, dijatuhkan temen sendiri sesama ummat Islam.
Sehingga pengaruh ulama dilapangan politik hanya ibarat menjadi ban serep, manakala kapan kapan diperlukan, baru dipakai.
KEDUA, dilapangan ajaran Islam, kita bertambah sedih, coba bayangkan ada syair yang dibuat guru thoriqot yang kebetulan dipopulerkan seorang tokoh besar di Indonesia, seolah menjadi pegangan bagi ummat Islam mayoritas, yang dinyanyikan di Majlis Majlis Ta’lim bahkan di Masjid Masjid menunggu waktu sholat, padahal itu waktu terbaik untuk berdoa dan kita juga bisa memanfaatkan sholat tahiyatal masjid, dengan syair sbb:
Wahai teman semua, laki dan perempuan….. Jangan hanya mengaji syariat saja………… Hanya pandai mendongeng, menulis dan membaca…. Nanti dibelakang hari akan cilaka………..
Bagaimana ini ?, Imam mahzab yang empat memang memerinci agama Islam dalam kerangka SYAREAT, Rasulullah juga mengajarkan SYAREAT, disambung para sahabat, tiba tiba kita diarahkan agar jangan mengaji syareat saja, dengan alasan hanya panai MENDONGENG, padahal cerita dalam Al Quran dan Sunah demikian luar biasa untuk menuntun kehidupan kita.
Banyak yang hapal Al Quran dan Hadits nya ……………….. Senangnya mengkafirkan orang lain ……………….. Kafirnya sendiri tidak diperhatikan ……………. Kalau masih kotor hati dan akalnya …………………….
Masya Allah………, darimana dalil demikian bisa keluar dari lesan orang orang yang disebut ulama, sedangkan para penghafal Al Quran dan Hadits (dan tentu memahami maknanya sejak zaman Abu Bakar Radli Allahu anhu dan generasi sahabat, sampai generasi Tabiin dan Tabiut Tabiin, mereka sampai berani berkurban Jiwa dan Raganya untuk bisa menghapal satu dua hadits. Dan selama ini saya mengamati para Masyayeih dan para Ustadz yang menyerukan kepada DALIL Al Quran dan Sunah sangat hati hati meletakan hukum, dan mereka sangat paham dengan dalil ” Barangsiapa menyatakan WAHAI KAFIR, maka dialah yang kafir….”, maka syair yang mengkonfrontir antara mereka yang merawat agama dengan menghafal (dan tentunya memahaminya ) Al Quran dan Hadits dengan seolah TUKANG mengkafirkan orang.
Al Quran QODIM wahyu yang mulia….. dibaca waskita … Tanpa ditulis bisa Itu nasehat guru yang ditancapkan didalam dada…………….
Bagaimana mungkin ?, sedang WAHYU yang dibawa Rasulullah memang Al Quran yang mushafnya ada sekarang ini, yang dibukukan di era sahabat Ustman bin Affan, yang memang tidak diakui oleh Syiah. Sedang kita Ahlus sunah memang menjadikan rujukan sumber dari segala sumber hukum.
KETIGA, didalam persoalan Aqidah, betapa sulitnya ummat ini dibawa kepada Aqidah yang berdasar Al Quran dan Sunah, dan ummat mayoritas ini diarahkan oleh tokoh tokohnya untuk memahami aqidah berdasar FILSAFAT berdasar logika, bahkan orang setingkat Imam Syafiipun seolah dianggap tidak punya ajaran Aqidah, sehingga mereka merujuk ke Imam lain.
Aqidah yang bersumber dari kalimat Tauhid Laa illaa ha ilallah……. kemudian banyak ayat menjelaskan, tidak diterimakan. Misalnya tentang KAKI ALLAH yang jelas jelas di Hadits diterakan dengan jelas bahwa Allah membenamkan kakinya di neraka yang terus minta masukan makhluk Allah yang durhaka dan kemudian para penyampai sudah dengan tegas ” LAISA KAMISLIHI SYAI’UN Tidak ada sesuatupun yang menyerupainya”, ditolak I, seolah para penyampai dalil Al Quran dan Sunah dituduh menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal jelas dinyatakan kalau seseorang bilang KAKI MANUSIA, dengan KAKI GUNUNG, sudah beda apalagi KAKI ALLAH, Laisa kamislihi syai’un…….. Apalagi kalau sudah perdebatan tentang Allah BEREMAYAM DIATAS ARSY, yang Al Quran bertebaran tentang itu, ditolak!
KEEMPAT, memahami struktur masyarakat Islam, betapa seolah sulit dan rumitnya, strata orang bahkan dibuat 7- tujuh tingkat, padahal Rasulullah hanya menuntun Islam-Iman dan Ihsan, itupun dalam keadaan Islam orang ber Iman, dalam keadaan ber Iman bisa Ihsan, tidak kemudian dibuat struktur oleh suatu otoritas. Yang memprihatinkan ketika orang ber Islam, ibaratnya/ logikanya JANGAN LANGSUNG MENJADI BOS, tetapi melalui tahap menjadi karyawan dst, seperti dahulu Rasulullah juga melalui tahapan TAHANUT – bersemedi didalam gua, bagimana mungkin ajaran begini bisa dikatakan Islam ? sedangkan Rasulullah sendiri mendakwahkan Islam SETELAH mendapat wahyu, setelah usia 40 tahun, sehingga tidak ada satu syariatpun yang dibawa beliau sebelum usia 40 tahun, kalau pun toh beliau adalah orang istimewa memang betul, beliau Al Amin, tetapi peri kehidupan beliau yang WAJIB dicontoh dan merupakan SUNNAH adalah setelah beliau mendapat wahyu.
KELIMA, ke WALIAN, betapa sulit dan rumitnya bangsa ini menafsirkan ke WALI an, yang di Al Quran disebut dengan sederhana “Orang yang tidak takut kecuali hanya kepada Allah”. Bahkan untuk memulusnya tesis kewallan itu sulit dan rulit dibuatlah cerita cerita hayal yang macem macem, melebihi keluar biasaan Sahabat bahkan Rasulullah sendiri. Padahal masalah kita mendapat KAROMAH karena doa kita dikabulkan Allah dengan METODE KEDUA yaitu dijauhkan dari marabahaya, kalau kita teliti diri kita ini akan banyak sekali kita mendapatkannya, tidak perlu melihat dari wali ini dan wali itu.
Sedih kita meraskan kelima hal diatas, atas apa yang menimpa bangsa ini.
Maka apa yang kita harapkan dari para ulama yang seperti kelima keadaan diatas, sedang ulama adalah WARATSYATUL ANBIYA pewaris Nabi, dan Nabi tidak mewariskan kecuali hanya Al Quran dan Sunah, yang itu sudah DIJLENTREHKE oleh para Imam mahzab, sehingga generasi sekarang tinggal memetik karya agung para Imam mahzab, dengan tetap sandaran pokok adalah Al Quran dan Sunah dengan dituntun/ dibimbing ulama warotsatul anbiya yang lurus bukan karena nafsu mendapat jamaah.
Semoga kita tetap ber istiqomah menjaga diri dan keluarga kita untuk terus menimba agama dari ulama yang sandarannya Al Quran dan Sunah dengan rujukan para Imam Mahzab.
Bagaimana dengan Anda?
Sumber : Majalah Sinaran Edisi 52