
Ketika Syariat Ditinggalkan Dalam Menilai Baik Buruk
،إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَل مُضِلَّ لَهُ
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Jamaah Jum’ah rahimakumullah
Ketika manusia merasa paling berhak untuk menilai baik buruk dalam urusan kehidupannya maka tunggulah dalam waktu tidak lama akan terjadi kehancurannya. Agama Islam yang dianutnya hanya sebagai identitas diri. Pengamalannya hanya dalam bentuk ritual. Kegiatan amal sholeh hanya dalam bentuk seremonial. Islam hanya di masjid. Maka nikmat yang diperoleh orang yang punya pola fikir demikian bukan menjadi rahmat baginya tapi justru akan menjadi laknat.
Pada kesempatan jum’at kali ini saya akan sampaikan bagaimana seharusnya kita memandang baik buruk dalam kehidupan kita. Allah swt berfirman:
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah:100).
Jamaah jum’ah rahimakumullah Suatu kali Imam Abu Hanifah pernah berjalan dan melihat seorang pria mencuri buah apel kemudian menyedekahkannya. Abu Hanifah mengejarnya lalu bertanya,”Kenapa anda mencuri? Tadinya saya mengira anda kelaparan.” Pria itu menjawab,”Tidak, saya ini sedang berjual beli (mencari pahala) dengan Rabbku.” “Apa maksud anda?” Tanya Abu Hanifah heran. Pria itu menjawab,” Ketika saya mencuri, maka ditetapkan satu dosa bagiku. Kemudian aku sedekahkan barang curianku tersebut maka ditetapkan bagiku setidaknya 10 pahala, maka tersisa untukku 9 pahala. Dengan demikian, saya mendapatkan 9 pahala yang saya harapkan ganjarannya dari tuhanku.”
Imam Abu Hanifah berkata,” Kamu telah mencuri dan ditetapkan atasmu dosanya. Namun kamu bersedekah dengan barang curianmu tersebut. Maka Allah tidak sudi menerima sedekahmu itu. Karena Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Jadi, yang tersisa darimu hanya satu dosa tadi.” Tentang hal tersebut, ada kaidah dalam hadits Nabi saw.
إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim).
Inilah poin yang tidak dimengerti oleh pencuri apel itu. Dia menyangka bahwa sebagaimana Allah menerima sedekah dari yang baik, maka Allah menerima sedekah dari yang buruk. Padahal, yang buruk tidak sama dengan yang baik, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah ayat 100 tersebut. Keduanya tidak sama, yang buruk ditolak dan yang baik diterima oleh Allah. Dari sini, seorang mukmin akan gigih mendalami pengetahuan tentang perkara-perkara yang baik menurut Allah, agar setiap apa yang diusahakan diterima sebagai pahala di sisi-Nya. Lalu mewujudkan pengetahuan yang telah diketahui dalam amal nyata. Saat mencari ma’isyah (pencaharian) dia cari dengan cara yang halal, dia belanjakan di tempat yang halal juga. Begitupun ketika bersedekah, ia bersedekah dari sumber yang halal juga. Jika ingin berucap, ia batasi hanya dalam perkara yang baik, agar ucapannya diterima sebagai kebaikan. Dalam hal ibadah, dia persembahkan niat yang ikhlas karena Allah, dan dia optimalkan kualitas dengan mengikuti sunnah Rasulullah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Begitupun dalam muamaah, ia tidak keluar dari koridor yang diijinkan oleh syairat agar muamalah juga bernilai pahala dan ketaatan. Sehingga, kelak ruhnya bersih pada saat menghadap
Allah dan akan menempati tempat yang baik pula (jannah), Allah berfirman,
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ ۙ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Nahl: 32).
Jamaah jum’ah rahimakumullah Adapun perkara yang buruk, semestinya dijauhi oleh seorang muslim. Keburukan yang dimaksud adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh syariat. Jika sesuatu dianggap buruk oleh syariat, pastilah itu sesuatu yang memang hakikatnya buruk dalam pandangan fitrah dan merugikan manusia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Hanya saja dengan dorongan hawa nafsu, ditambah dengan provokasi dari setan, seringkali keburukan dianggap sebagai kebaikan. Karena setan berusaha memoles keburukan agar tampak indah dilihat dan menggiurkan dinikmati oleh pendengaran. Inilah ambisi setan sebagiamana yang Allah sebutkan,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Al Hijr: 39).
Batas antara yang buruk dan yang baik makin samar dan tidak jelas bagi umumnya orang tatkala pelaku keburukan semakin banyak dan kuantitasnya semakin merebak. Hingga alam bawah sadar manusia menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Untuk selanjutnya dosa yang sudah membiasa ini dianggap sebagai kebaikan atau kedudukannya sejajar dengan kebaikan. Karena itulah Allah menegaskan di kalimat selanjutnya,
ولو أعجبك كثرة الخبيث …
“meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu……” (QS. Al Maidah: 100).
Terkadang seseorang menganggap baik suatu cara yang buruk karena dengan cara itu bisa mendapatkan hasil yang banyak, tapi ayat ini menjadi sanggahannya. Ibnu Katsir menjelaskan,”sesuatu yang sedikit tapi halal, itu lebih baik dan lebih bermanfaat daripada yang banyak tapi haram dan memadharatkan.”
Kadang pula, keburukan dianggap menjadi baik karena banyaknya orang yang melakukannya. Maka ayat ini menjadi teguran, jangan anggap yang buruk itu baik karena jumlahnya yang banyak. Jangan pula menganggap bahwa yang baik itu buruk, karena sedikit penganutnya. Ukurannya bukan banyak atau sedikitnya, tapi kebenaran atau kebaikan itu dari Allah”Al-haqqu min rabbika”, maka segala yang bertentangan adalah buruk, meskipun menarik dan banyak pengikutnya. Semoga Allah menunjukkan kita dalam kebaikan.
Walllahu a’lam
Khutbah Kedua
الحمد لله حمدا كثيراكامرفتتهوا عمانهى عنه وحذر أشهد أن لاإله إلاالله الواحد القهار ونشهد أن محمدا عبده ورسوله أما بعد
Ma’asyiral muslimîn wa zumrotal mu’minîn râhimakumullâh
Pada khutbah yang kedua ini,
Kembali saya berwasiat kepada diri saya pribadi dan kepada jama’ah sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan taqwa kita kepada Allâh. Mudah mudahan kita semua kelak akan kembali bertemu di surga-Nya. Aamiiin.
Ma’asyiral muslimîn wa zumrotal mu’minîn râhimakumullâh.
Jika ingin melihat kerapian dan kedisiplinan umat, maka rapikanlah shaf shalat berjamaahnya. Bila ingin kesatuan dan persatuan umat, maka rapat dan luruskanlah shaf shalat berjamaahnya.
من وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله عز وجل
“Barangsiapa menyambung suatu shaf, niscaya Allah menyambungnya (dengan rahmatNya). Barangsiapa yang memutuskan suatu shaf, niscaya Allah memutuskannya (dari rahmatNya).” (Riwayat An Nasai).
Semoga Allâh Ta’ala senantiasa menuntun kita di jalan yang diridhai-Nya. Dan mengumpulkan kita bersama orang orang yang dicintai-Nya. Di akhir khutbah ini, marilah kita tundukkan mata dan hati kita di hadapan Allâh Ta’ala. Dengan diiringi penghayatan akan siksa Neraka dan lemahnya diri ini untuk menanggungnya, keharuan yang mendalam dalam dada dan kebersihan hati. Semoga Allâh memberikan keberkahan yang banyak kepada kita pada siang hari ini. Semoga pula suasana alam dan benda di sekitar kita menjadi saksi akan doa kita kepada Allâh Ta’ala dan malaikat yang hadir juga menguatkan doa kita.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،
اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ
وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Sumber: https://elkalam.id/ketika-syariat-ditinggalkan-dalam-menilai-baik-buruk/