
Gagal Paham Atas Lembaga Keuangan Syariah
Oleh: M. Akhyar, ME
Bulan Ramadan merupakan momentum yang paling strategis bagi umat Islam untuk memperbaiki dan bahan introspeksi diri setelah melihat berbagai kekurangan yang telah dialami pada masa lalu. Selama ini kerap timbul kesan bagi sebagian umat Islam bahwa bulan Ramadan adalah bulan istirahat dan bulan berleha-leha menunggu kumandang adzan Maghrib.
Pemahaman seperti ini timbul dari salah baca terhadap makna Ramadan yang sebenarnya. Secara etimologi, Ramadan berasal dari akar kata “ramadl” yang berarti “membakar”. Artinya, Ramadan adalah momentum umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif disbanding bulan lain, sehingga usaha dan semangat beribadah pun mesti lebih masif dilakukan.
Konon, para sahabat mempersiapkan penyambutan Ramadan selama enam bulan. Enam bulan setelahnya, mereka khusyuk meminta kepada Allah SWT agar ibadah shaum-nya diterima.
Ramadan adalah bulan suci yang penuh makna, sarat nilai, multi-hikmah dan bermega-pahala. Selain menyehatkan raga dan menenangkan jiwa, berpuasa juga mengajarkan hidup toleran, sederhana, dan bahkan produktif. Tidak hanya itu, Ramadan turut meletakkan landasan pembangunan ekonomi umat.
Setiap kali Ramadan datang, kita selalu menaruh harapan besar pada bulan suci itu. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani. Tidaklah mengherankan jika tema-tema dakwah Ramadan selalu mengarah kepada perubahan. Seolah- olah Ramadan akan mengubah segalanya. Kehidupan politik yang nir- etika berubah menjadi kehidupan politik yang berbingkai moral dan berpayung kesantunan.
Akhlak yang kerap kali absen dalam kehidupan sosial budaya berubah menjadi kehidupan yang berkeadaban. Demikian pula kehidupan ekonomi kita yang sangat kapitalistik dan abai terhadap dhuafa dan mustadh’afin, berubah menjadi kehidupan ekonomi yang menjunjung nilai-nilai syariah.
Ramadhan dan Ekonomi Syariah
Kita perhatikan, perilaku sedekah, infak dan zakat meningkat cukup dramatis pada bulan ini. Di sinilah, bulan Ramadan menjadi momentum lahirnya semangat dan kesadaran umat muslim untuk melakukan aktivitas ekonomi sesuai ajaran agamanya- menanggalkan riba, menjauhi gharar, maysir, tadlis, ihtikar dan lain sebagainya. Sebab, implikasi puasa tidak saja berdimensi ibadah spiritual, tetapi juga mengajarkan akhlak horizontal (mu’amalah), khususnya dalam bidang bisnis.
Sungguh aneh apabila ada orang berpuasa dengan khusyuk, tetapi melanggar ajaran-ajaran Allah dalam mu’amalah, seperti masih mempraktekkan riba yang diharamkan. Adanya lembaga keuangan syariah seperti bank syariah dan Koperasi syariah musti disambut dengan penuh kebanggaan, karena lembaga inilah sebagai solusi perwujudan nilai-nilai islam yang di Indonesia telah dibingkai dalam amanat Fatwa MUI tahun 2003 tentang keharaman bunga bank.
Dan yang paling aneh lagi apabila umat islam bersikap apatis dan tidak percaya terhadap lembaga keuangannya sendiri, naudzu billah. Berbagai tudingan miring diarahkan kepada bank syariah atau Koperasi syariah bahwa operasionalnya sama saja dengan bank konvensional (umum). Nyatanya, sama- sama ambil keuntungan, sama-sama ada eksekusi bila wanprestasi, keduanya hanya beda istilah saja prakteknya sama, dan lain-lain.
Kita paham, bahwa lahirnya lembaga keuangan syariah telah didukung dengan regulasi dari pemerintah. Selain itu juga di dalam operasionalnya didukung oleh 116 fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, dikawal dengan PBI, PAPSI, POJK, PSAK dan berbagai regulasi lainnya.
Dengan taat prosedur dan aturan insyaAllah lembaga keuangan syariah sesuai dengan koridor kaidah-kaidah muamalah Islam. Kalau dalam tataran prakteknya mungkin ada kekurangtepatan atau bahkan penyimpangan maka jangan kemudian malah menyalahkan lembaga keuangannya. Tugas kitalah untuk mengingatkan agar praktisi dan atau nasabahnya untuk taat prosedur. Sebuah contoh, misalkan ada orang sholat maghrib 4 rekaat, jangan lantas kemudian menyalahkan sholatnya, tetapi ajari dia agar orang tersebut sholat maghrib 3 rekaat. itulah sifat yang tepat dan bijak.
Hukum Menyamakan Lembaga Keuangan Syariah dan Konvensional
Berhati-hatilah dalam membuat klaim bahwa syariah dan konvensional itu sama, karena bila klaim tersebut disertai sebuah keyakinan maka bisa dihukumi MURTAD. Kalau yang dimaksud sama adalah sama-sama halal maka sesungguhnya ia termasuk telah menghalalkan sesuatu yang jelas HARAM yaitu RIBA. Kalau yang dimaksud sama adalah sama-sama HARAM maka ia termasuk telah mengharamkan sesuatu yang jelas HALAL yaitu seperti Mudharabah, Murabahah, Ijarah dll. Ketahuilah bahwa yang halal adalah jelas, yang harampun telah jelas.
Ketika seorang mengklaim bahwa jual beli (Murabahah) adalah sama dengan riba maka sama artinya ia telah menghukumi pelakunya seperti orang yang kerasukan setan, rusak akal yang jalannya seperti orang gila (Qs. Al Baqarah :275). Mengharamkan perkara HALAL lebih besar dosanya dibandingkan meng-HALAL-kan yang HARAM, kaidah yang merupakan dalil istqro’ ini patut direnungkan agar tidak terjebak dalam kekeliruan.
Maka sikap bijak sebagai seorang muslim jangan mudah mengatakan Haram terhadap aktifitas USAHA dan BISNIS, jika belum dikaji secara mendalam bagaimana operasional sesungguhnya. Janganlah terjebak untuk menghukumi Haram padahal yang diketahuinya baru sepotong dan tidak didukung dengan data akurat. Ketahuilah, menghalalkan perkara haram adalah termasuk dosa besar. Namun mengharamkan yang halal dosanya lebih besar dari menghalalkan yang haram.
Mengharamkan sesuatu yang halal berefek pada: Pertama, Hilangnya kesempatan banyak orang menikmati karunia, rezeki dan Rahmat Allah subhanahu wata’ala secara sah. Kedua, Ada unsure mempersempit dan mempersulit perkara agama yang mengakibatkan kemudharatan bagi orang lain. Lain halnya dengan menghalalkan sesuatu yang haram, la membuka ruang bagi orang lain merasakan ciptaan Allah subhanahu wata’ala (kendati itu juga merupakan pelanggaran).
Status halal merupakan hukum asal aktifitas muamalah. Sedangkan status Haram merupakan hukum yang disematkan pada suatu perkara muamalah. Prinsip hukum mengatakan bahwa hukum asal lebih kuat dari hukum baru. Oleh karena itu, diperlukan alsan kuat, jelas dan tegas dalam menetapkan hukum baru jika bertentangan dengan hukum asal.
Kemungkaran bukan hanya dalam konteks menghalalkan yang haram, melainkan juga mengharamkan yang halal. Nahi munkar bukan hanya pencegahan bagi orang yang akan melakukan perbuatan haram. Sebaliknya, perbuatan yang sejatinya tidak haramtak boleh ada pencegahan untuk melakukannya.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman “Dan janganlah lisan kalian berdusta dan mudah menetapkan yang ini halal dan yang itu haram, untuk membuat hukum baru atas nama Allah, sungguh setiap orang berdusta tidak akan beruntung.” (QS. An-Nahl; 116)
Lembaga Keuangan Syariah sebagai Sarana Jihad
Lembaga keuangan syariah sebagai wujud pembumian syariat islam adalah karunia Allah yang tiada terhingga. Dominasi lembaga ribawi yang sudah mengakar telah berhasil membius masyarakat sehingga dibuat sulit untuk meninggalkannya. Pertentangan antar hak dan bathil adalah sebuah keniscayaan, dan ketahuilah kebathilan akan terus berupaya melakukan tipu muslihat sehingga yang hak akan tergerus dan akhirnya mati. Realitas menunjukkan bahwa semua yang berbau syariat sedikit demi sedikit di preteli sehingga menjadi kabur dan tidak jelas antara syariat dan thaghut. Dan ketahuilah cara yang paling efektif untuk menjadikan syariat runtuh adalah dengan cara pembusukan dari internal umat islam sendiri. Umat islam dibuat ragu dengan keyakinan dan syariatnya sendiri. Mereka (Yahudi dan Nasrani) jelas tidak akan rela melihat keunggulan islam sebelum umat islam bertekuk lutut tak berdaya mengikuti millahnya.
Maka mari jadikan lembaga keuangan syariah bukan sekedar solusi alternative transaksi keuangan tapi lebih dari itu jadikanlah sebagai ideologis. Kita bela, kita perjuangkan karena inilah jihad fi sabilillah di bidang Muamalah maaliyah dalam rangka menghapus riba dari transaksi muamalah yang paling sulit dihindari manusia zaman now, yakni transaksi perbankan. Mari tidak untuk mengutuk gelap, nyalakan cahaya walau sekedar lilin.
Wallahua’lam bish showab.
Sumber: Majalah Sinaran Edisi 55