
Al Qur’an Produk Budaya?
Oleh : Abu Ashfa el-Njawi, Lc.
Dalam sebuah seminar diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi Islam negeri, ada pembicaraan hangat mengenai problem yang berupa statemen kontroversial bahwa hakikat teks al-Qur’an adalah produk budaya, teks manusiawi, teks historis, dan teks linguistik. Dari peserta yang hadir tampak sekali banyak dari mereka yang terpengaruh dengan statemen-statemen menyimpang yang disampaikan oleh pemateri yang kebetulan rata-rata dosen pemikiran Islam di perguruan tinggi Islam negeri.
Sudah maklum bahwa perbincangan mengenai al-Qur’an tidak pernah habis, karena al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Alloh pencipta segala yang ada ini. Al-Qur’an sebagai petunjuk primer dalam kehidupan umat Islam berisi jawaban atas segala problematika di kehidupan ini. Keunggulan al-Qur’an inilah yang membuat para pembenci Islam mengerahkan segala usahanya demi memuaskan nafsunya untuk membuat kekcauan berpikir, merekonstruksi, dan mendekonstruksi nilai-nilai krusial wahyu Tuhan dalam al-Qur’an. Anehnya, hal ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan orientalis Barat dan non Muslim saja, tetapi tidak sedikit juga dari kalangan umat Islam.
Di zaman yang mulai banyak bermunculan fitnah ini, banyak sekali bermunculan karya-karya yang vulgar dalam mengkritisi al-Qur’an. Banyak pengagum mereka yang menanggap karya-karya tersebut bersifat objektif, modern, dan mampu membuat umat Islam terbebas dari kejumudan. Padahal justeru yang terjadi malah sebaliknya, upaya demikian ternyata tidak bisa memberikan pencerahan terhadap umat Islam, namun membawa umat Islam jatuh ke jurang kekufuran, kekeliruan, dan kesesatan. Endingnya, nilai-nilai otentik al-Qur’an pun berani untuk diragukan, yang pada kahirnya berakibat pada runtuhnya sendi agama.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
Di antara dedengkot pemikir liberal yang berusaha untuk mendekonstruksi al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Tidak jarang pemikirannya menjadi konsumsi empuk yang digemari oleh para pegiat liberalisme di Indonesia. Banyak sekali karya tulisan Abu Zaid yang dijadikan sebagai referensi oleh para aktivis Islam Liberal baik di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dosen, maupun mahasiswa.
Abu Zayd berpendapat bahwa hakikat teks al-Qur’an adalah produk budaya, teks manusiawi, teks historis, dan teks linguistik. Pemikiran semacam ini dibangun atas asumsi bahwa teks tersebut muncul dalam sebuah struktur budaya tertentu, sehingga ditulis dengan aturan-aturan budaya tersebut, di mana bahasa merupakan sistem pemaknaan yang sentral. Menurutnya bahwa teks al- Qur’an memang bersifat ilahiyah yang sakral, namun ia menjadi sebuah konsep yang relatif dan berubah ketika ia dilihat dari perspektif manusia. Dari sini lah al- Qur’an dipahami sebagai teks manusiawi.
Sebenarnya pemikiran sesat yang dikampanyekan oleh Abu Zayd Nashr Hamid bukan lah hal baru sama sekali. Sebab telah lama para orientalis berupaya menolak otentisitas alqur’an sebagai wahyu Allah. Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muammad pun telah santer fitnah kebencian yang mengatakan bahwa Alqur’an karangan Muhammad. Maka para orientalis zaman modern sekarang ini sebebnarnya tidak jauh dari kaum kafir pada saat pertama kali al-Qur’an diturunkan.
Sikap Islam terhadap Pemahaman Sesat ini
Menyikapi pemikiran sesat yang dihembuskan oleh orientalis seperti di atas, kita mesti menanyakan kembali, adakah di antara para ulama mu’tabar baik klasik maupun kontemporer yang memiliki pemahaman sama seperti pemikiran sesat yang dibawa oleh para orientaslis. Para ulama adalah pewaris Nabi yang melanjutkan estafet dakwah Islamiyah penting untuk dijadikan rujukan dalam menyikapi problem seperti ini. Terlebih para ulama tentu memiliki kepakaran dan otoritas keilmuwan. Sehingga karya-karya besar berjilid-jilid yang ditulis oleh para ulama cukup penting untuk dijadikan sebagai acuan utama dalam menghadapi hal ini.
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha yang termasuk ulama kontemporer pakar tafsir al-Qur’an mengatakan bahwa al- Qur’an merupakan kalam Alloh yang diturunkan dalam berbahasa Arab kepada Nabi Muhammad. Imam al- Jurjani memiliki pandangan bahwa al- Qur’an adalah kalam Alloh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, termaktub di dalam mushaf dan sampai kepada kita melalui periwayatan yang mutawatir. Imam al-Zarkasyi mendefinisikan al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk dijelaskan pesan- pesannya dan dijadikan mu’jizat.
Lebih dari keterangan di atas, Mufassir Modern Imam Ali Shabuni juga berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW untuk membenarkan berita yang dibawa oleh Nabi SAW, dan adil atas apa yang telah ditentukan dan diputuskan. Demikian juga Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalam Alloh yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dihafal di dalam dada, yang dapat dibaca dengan lisan, ditulis dalam mushaf yang dilingkari dengan kemuliaan yang tidak ada kebatilan, baik di awalnya maupun di akhirnya, diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Pendapat tentang al-Qur’an yang disebutkan oleh para ulama di atas menenjukkan satu pemahaman yang sama bahwasanya al-Qur’an merupakan kalam Alloh yang diturunkan kepada Nabi dalam bahasa Arab. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada satu pun di antara mereka yang mendefinisikan sebagai teks manusia atau pun hasil produk budaya.
Sebenarnya orang-orang Arab yang hidup pada masa turunnya Al- Qur’an adalah masyarakat yang paling mengetahui keunikan dan keistimewaan Al-Qur’an, bahkan mereka sendiri mengakui tidak memiliki kemampuan untuk menyusun kata-kata yang serupa dan sepadan dengan al-Qur’an. Tetapi, sebagian mereka tidak dapat menerima Al-Qur’an karena pesan yang dikandungnya merupakan sesuatu yang baru. Para ulama ada juga yang memahami bahwa orang-orang musyrik tersebut berat menerima al-Qur’an atas dasar gengsi dan sombong.
Al-Qur’an bukan Produk Budaya
Jika Alqur’an merupakan produk budaya, maka seharus dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, Alqur’an berada dalam kondisi pasif dan stagnan serta tidak adaptif dengan berbagai persoalan yang dimunculkan oleh zaman yang dilewatinya, karena ia produk budaya Arab jahiliyah. Dari sini sudah tampak bahwa al-Qur’an tidak bisa dianggap sebagai produk budaya. Alqur’an sendiri sejak awal diturunkan kepada Nabi Muhammad sudah berulang kali ditentang oleh kaum kafir musyrikin karena kandungan isinya dianggap menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, Alqur’an bukanlah produk budaya, namun Alqur’an justru membawa budaya baru dengan konsep ilahiyah yang mengantarkan umat manusia pada kebahagian dunia akhirat.
Sumber : Majalah Sinaran Edisi 52